Oleh : Dr. Salamia, M.Si (IRo-Society Balikpapan – Guru Matematika MTsN 1 Balikpapan)
Editor: Romdani

KALTIMPOST.ID-Pendidikan Indonesia kini berada pada titik balik yang menentukan. Di tengah derasnya arus globalisasi dan revolusi industri 4.0, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada 2025 memperkenalkan konsep transformatif. Yakni delapan profil lulusan sekolah dasar dan menengah.
Kebijakan visioner itu bukan sekadar wacana. Melainkan keperluan mendesak untuk menyiapkan generasi penerus yang siap menghadapi kompleksitas tantangan masa depan.
Delapan dimensi tersebut meliputi, keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kewargaan, penalaran kritis, kreativitas, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi. Seluruh dimensi saling terkait membentuk kerangka holistik untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Menariknya, konsep itu berlaku tidak hanya di sekolah umum, tetapi juga di madrasah, yang merupakan bagian integral sistem pendidikan nasional.
Pada era disrupsi teknologi, pendidikan agama dan karakter justru semakin relevan. Keimanan dan ketakwaan menjadi fondasi utama pembentukan karakter. Pendidikan agama yang baik bukan sekadar ritual atau dogma. Melainkan pembentukan pribadi dengan kompas moral kuat, ketahanan spiritual, dan kemampuan hidup harmonis di tengah keberagaman. Nilai itu menjadi benteng pertahanan mental-spiritual generasi muda menghadapi gempuran budaya global yang kadang bertentangan dengan nilai luhur bangsa.
Namun, karakter kuat saja tidak cukup. Pemahaman kewargaan yang komprehensif penting untuk menanamkan identitas kebangsaan yang kokoh. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn) perlu diubah dari pembelajaran tekstual. Yakni menjadi pembelajaran kontekstual yang mengajak murid terlibat memecahkan masalah aktual bangsa, seperti isu lingkungan, toleransi, dan demokrasi digital.
Pada era banjir informasi, penalaran kritis menjadi kompetensi vital. Lulusan harus mampu memilah informasi, membedakan fakta dan opini, serta mengambil keputusan berbasis data. Sistem pendidikan perlu beralih dari menekankan hafalan menjadi mendorong proses berpikir analitis, rasa ingin tahu, dan pemecahan masalah kreatif.
Kreativitas sebagai dimensi keempat sangat diperlukan untuk melahirkan inovator muda yang mampu menciptakan solusi orisinal. Sayangnya, kreativitas sering terhambat oleh birokrasi dan keseragaman. Sekolah dan madrasah perlu menyediakan ruang berekspresi, menghargai ide baru, dan memfasilitasi realisasi gagasan murid.
Tidak ada kreativitas tanpa kolaborasi. Kemampuan bekerja sama dalam tim beragam, menghargai perbedaan, dan membangun sinergi harus dibiasakan sejak dini. Misalnya melalui pembelajaran berbasis proyek, ekstrakurikuler lintas minat, dan program pertukaran pelajar. Kolaborasi yang efektif memerlukan kemandirian. Kemandirian bukan berarti melakukan segalanya sendiri.
baca juga : Meruntuhkan Mitos Matematika
Tetapi kemampuan mengelola diri, mengambil inisiatif, dan bertanggung jawab. Sistem pendidikan yang terlalu protektif justru menghambat perkembangan itu. Murid perlu diberi ruang mengambil keputusan dan belajar dari kesalahan. Dimensi kesehatan tidak hanya soal kebugaran fisik. Tetapi juga keseimbangan emosi, manajemen stres, dan kesadaran kesehatan reproduksi.
Peningkatan kasus depresi di kalangan murid membuktikan pentingnya pendidikan kesehatan holistik. Sekolah harus menjadi lingkungan yang mendukung kesejahteraan murid, bukan sumber tekanan. Komunikasi, sebagai dimensi terakhir, menuntut kemampuan berbicara, menulis, dan menyampaikan gagasan lintas budaya dengan etika digital yang baik. Presentasi yang meyakinkan dan negosiasi yang bijak menjadi keterampilan penting abad ke-21. Bagi madrasah, kedelapan profil itu sejalan dengan nilai Islam yang memperkuat keimanan, penalaran kritis, dan kolaborasi.
Dengan penguatan sains, teknologi, dan kewirausahaan, madrasah dapat melahirkan lulusan unggul secara akademik sekaligus berkarakter. Implementasi delapan profil itu menuntut reorientasi kurikulum yang fleksibel, peningkatan kapasitas guru, dan perubahan mindset seluruh pemangku kepentingan. Evaluasi pembelajaran harus mengukur kompetensi, bukan sekadar pengetahuan. Kunci keberhasilan terletak pada kolaborasi antara sekolah/madrasah, keluarga, industri, dan masyarakat.
Delapan profil lulusan bukan tujuan akhir, melainkan kompas yang mengarahkan generasi muda menghadapi masa depan penuh ketidakpastian. Dengan implementasi konsisten dan komitmen bersama, generasi emas Indonesia 2045 yang cerdas, berkarakter kuat, dan berkontribusi pada peradaban bangsa dapat terwujud. (rd)
Terbit di koran Kaltim Post Tanggal 13 Agustus 2025
Admin : Perpustakaan Babul Ilmi (dju)