PERPUSTAKAAN BABUL ILMI

  • Beranda
  • Informasi
  • Berita
  • Bantuan
  • Pustakawan
  • Area Anggota
  • Pilih Bahasa :
    Bahasa Arab Bahasa Bengal Bahasa Brazil Portugis Bahasa Inggris Bahasa Spanyol Bahasa Jerman Bahasa Indonesia Bahasa Jepang Bahasa Melayu Bahasa Persia Bahasa Rusia Bahasa Thailand Bahasa Turki Bahasa Urdu

Pencarian berdasarkan :

SEMUA Pengarang Subjek ISBN/ISSN Pencarian Spesifik

Pencarian terakhir:

{{tmpObj[k].text}}

Mengikat Akal dan Hati: Ketika Pembelajaran Mendalam Berpadu dengan Kurikulum Berbasis Cinta


Mengikat Akal dan Hati: Ketika Pembelajaran Mendalam Berpadu dengan Kurikulum Berbasis Cinta

Oleh : Dr. Salamia, M.Si (IRo-Society Balikpapan – Guru Matematika MTsN 1 Balikpapan)

Editor: Romdani

 KALTIMPOST.ID-Dalam pusaran arus perubahan dunia pendidikan yang semakin cepat, dua gagasan besar hadir dari lembaga berbeda namun sejatinya saling melengkapi: Pembelajaran Mendalam yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Kurikulum Berbasis Cinta yang diperkenalkan Kementerian Agama Republik Indonesia.

Keduanya seolah menyalakan obor harapan: bahwa pendidikan Indonesia tidak lagi sekadar menjejalkan fakta-fakta pengetahuan, melainkan menumbuhkan manusia utuh yang cerdas secara intelektual sekaligus hangat secara emosional.

Jika pembelajaran mendalam mengikat akal, maka Kurikulum Berbasis Cinta merajut hati. Bayangkan, bila keduanya berpadu dalam ruang kelas, akan lahir generasi yang tidak hanya pintar menghitung angka, tetapi juga bijak merasakan, peduli, dan penuh cinta.

Pembelajaran mendalam (Deep Learning), bukanlah konsep baru di dunia pendidikan global, namun kini menjadi arah penting kebijakan Kemendikdasmen.

Ia lahir dari kesadaran bahwa murid tidak boleh hanya menjadi penghafal, melainkan pembelajar sejati yang mampu memahami, mengaplikasikan, dan merefleksikan pengetahuan.

Baca Juga :Bangun Generasi Emas Indonesia lewat Delapan Profil Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah

Tiga prinsip utamanya adalah berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan menjadi kunci. Pembelajaran berkesadaran menuntut hadirnya kesungguhan guru dan siswa dalam proses belajar, bukan sekadar rutinitas mekanis.

Pembelajaran bermakna menegaskan bahwa setiap pengetahuan harus berhubungan dengan kehidupan nyata, relevan dengan kebutuhan murid.

Sedangkan pembelajaran menggembirakan menjamin bahwa ruang kelas menjadi tempat tumbuh kembang yang penuh rasa ingin tahu, bukan penjara penuh tekanan.

Ki Hadjar Dewantara sejak lama menegaskan, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.”

Kutipan ini selaras dengan Deep Learning yang menekankan bahwa guru bukan sekadar pengajar, melainkan fasilitator yang menuntun anak menemukan makna dalam belajar.

Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) lahir dari kegelisahan akan arah moral dan spiritual generasi muda.KBC menekankan kasih sayang, kepedulian, dan toleransi dalam pembelajaran, dengan tujuan menanamkan cinta kepada Tuhan, sesama, lingkungan, dan bangsa.

Pendidikan tidak cukup sekadar transfer ilmu, tetapi harus menyalakan api kebaikan. KH. Ahmad Dahlan berpesan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”

Pesan itu bermakna bahwa pendidikan berbasis cinta harus mendorong siswa memberi manfaat bagi orang lain, bukan hanya untuk diri sendiri.

Sekilas, dua gagasan tersebut lahir dari ruang yang berbeda. Deep learning mengakar pada diskursus pedagogik modern, sedangkan KBC bertumpu pada nilai spiritual dan tradisi religius.

Namun bila ditelaah lebih dalam, keduanya justru saling mengisi kekosongan. Deep learning berpotensi menjadi kering jika hanya menekankan kecerdasan analitik tanpa dimensi empati.

Sebaliknya, kurikulum cinta dapat terjebak dalam retorika moral bila tidak diberi fondasi pedagogik yang konkret.Maka, titik temu keduanya adalah pendidikan yang utuh yaitu pendidikan yang mengikat akal sekaligus merajut hati.

Mari kita lihat dari kerangka yang ditawarkan deep learning. Ada empat komponen yang ditekankan: praktik pedagogik, kemitraan, lingkungan pembelajaran, dan pemanfaatan teknologi.

Praktik pedagogik menuntut guru mengubah cara mengajar bukan sekadar ceramah satu arah, melainkan dialog yang menggugah.

Dalam bingkai kurikulum cinta, pedagogi seperti ini memberi ruang untuk menumbuhkan kasih sayang dan kepedulian. 

Guru bukan hanya transmiter ilmu, melainkan teladan yang penuh cinta. Kemitraan dalam Deep Learning juga sejalan dengan KBC, karena melibatkan orang tua, masyarakat, bahkan lintas agama dan budaya, untuk menanamkan nilai kepedulian bersama.

Lingkungan pembelajaran yang kondusif, aman, dan inklusif menjadi lahan subur bagi tumbuhnya cinta pada sesama. Pemanfaatan teknologi, bila diarahkan dengan bijak, justru bisa memperluas jangkauan nilai cinta melalui konten-konten edukatif yang menebarkan empati, bukan kebencian.

Nelson Mandela pernah berkata, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.”

Namun senjata ini akan kehilangan makna jika tidak dipegang dengan cinta. Deep learning memberi tajamnya senjata, sementara KBC menjamin bahwa senjata itu digunakan untuk kebaikan.

Pengalaman belajar Deep Learning memahami, mengaplikasi, dan merefleksi akan semakin bermakna bila dilandasi KBC.

Memahami bukan sekadar menguasai materi, tapi menyelami nilai di balik pengetahuan, misalnya belajar ekologi untuk menumbuhkan cinta pada lingkungan.

Mengaplikasi berarti menjadikan ilmu sebagai tindakan nyata, seperti memakai matematika untuk mengelola keuangan keluarga kecil demi kesejahteraan.

Refleksi pun menemukan makna baru, murid bercermin apakah ilmu menjadikan mereka lebih bijak, peduli, dan mencintai kehidupan.

Mengikat akal dan hati bukan hal mudah, karena budaya pendidikan masih terjebak pada obsesi nilai, ujian standar, dan beban administrasi. Guru yang seharusnya menjadi pelopor pembelajaran mendalam justru sering terseret rutinitas birokratis. Murid pun kehilangan makna belajar karena merasa hanya menjadi objek sistem.

Maka, perlu keberanian melakukan lompatan paradigma dengan meninggalkan pola lama teaching to the test menuju pendidikan yang membebaskan.

Paulo Freire mengingatkan, pendidikan harus menyelesaikan kontradiksi guru-murid, agar keduanya bisa sekaligus menjadi pengajar dan pembelajar.

Baca Juga: Meruntuhkan Mitos Matematika

Di titik ini, sinergi antara Deep Learning dan KBC dapat menjadi jawaban. Deep learning memberi arah teknis dan metodologis agar pembelajaran menjadi berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan. KBC memberi nyawa spiritual dan moral agar setiap langkah itu tidak kehilangan ruh.

Guru yang menjalankan Deep Learning dengan landasan cinta tidak akan sekadar bertanya “apakah murid paham rumus ini?”, melainkan juga “apakah murid merasakan manfaatnya dan tergerak hatinya untuk menggunakan ilmu ini bagi kebaikan?”. Pendidikan seperti ini menumbuhkan kompetensi sekaligus karakter.

Pendidikan yang mengikat akal dan hati membawa dampak sosial luas. Di tengah polarisasi, intoleransi, dan budaya instan, sekolah dengan paradigma ini menjadi oase.

Murid yang belajar mendalam dan penuh cinta tumbuh kritis sekaligus empatik, cerdas namun rendah hati, kompetitif namun peduli.

Mereka bukan sekadar calon pekerja, melainkan pemimpin yang mampu menjadikan perbedaan sebagai kekuatan.

KH Hasyim Asy’ari pernah menegaskan, pendidikan bukan hanya mencetak anak pintar, tetapi juga berakhlak mulia. Pesan yang sejalan dengan pendidikan yang mengikat akal dan hati.

Dalam perspektif spiritual bangsa, gagasan ini juga memiliki akar yang kuat. Pancasila menempatkan Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial sebagai nilai dasar.

Bukankah KBC sejatinya menumbuhkan cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa?

Bukankah deep learning sejatinya membekali akal budi agar nilai-nilai itu tidak hanya tinggal di langit, tetapi menjejak di bumi melalui aksi nyata?

Sehingga, mengikat akal dan hati dalam pendidikan adalah cara untuk mewujudkan Pancasila dalam praksis sehari-hari di ruang kelas

Mungkin ada yang bertanya, apakah semua ini realistis? Bukankah guru sudah terbebani, dan fasilitas belum merata? Tantangan itu nyata, tetapi justru itulah alasan integrasi deep learning dan kurikulum cinta mendesak.

Keduanya bukan beban baru, melainkan cara meringankan beban lama. Guru yang mengajar dengan cinta dan kesadaran menemukan energi baru, sementara murid yang belajar dengan gembira dan bermakna lebih mudah meraih capaian akademik tanpa tekanan berlebih.
Pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi upaya menghidupkan akal dan hati. Ketika deep learning berpadu dengan Kurikulum Berbasis Cinta, sekolah dapat menjadi ruang yang menumbuhkan kecerdasan sekaligus kepekaan.

Murid tidak hanya mahir berpikir kritis, tetapi juga tergerak untuk menyebarkan kebaikan dan kasih sayang. Inilah pendidikan sejati, melahirkan manusia yang cerdas, berempati, serta mampu membangun masa depan bangsa dengan hati yang penuh cinta.

#PembelajaranMendalam, #Deep Learning, #Kurikulm Berbasis Cinta, #Kemendikdasmen, #Kementerian Agama.

Sumber : Mengikat Akal dan Hati: Ketika Pembelajaran Mendalam Berpadu dengan Kurikulum Berbasis Cinta - Kaltim Post

Admin : Perpustakaan Babul Ilmi (dju)

PERPUSTAKAAN BABUL ILMI
  • Informasi
  • Layanan
  • Pustakawan
  • Area Anggota

Tentang Kami

As a complete Library Management System, SLiMS (Senayan Library Management System) has many features that will help libraries and librarians to do their job easily and quickly. Follow this link to show some features provided by SLiMS.

Cari

masukkan satu atau lebih kata kunci dari judul, pengarang, atau subjek

Donasi untuk SLiMS Kontribusi untuk SLiMS?

© 2025 — Senayan Developer Community

Ditenagai oleh SLiMS
Pilih subjek yang menarik bagi Anda
  • Karya Umum
  • Filsafat
  • Agama
  • Ilmu-ilmu Sosial
  • Bahasa
  • Ilmu-ilmu Murni
  • Ilmu-ilmu Terapan
  • Kesenian, Hiburan, dan Olahraga
  • Kesusastraan
  • Geografi dan Sejarah
Icons made by Freepik from www.flaticon.com
Pencarian Spesifik
Kemana ingin Anda bagikan?